msaceh

Berita

Berita (1220)

Gandeng Family Court, Badilag akan Gelar Pelatihan Meja Informasi (5/10)

Dirjen Badilag Wahyu Widiana sedang memimpin rapat, didampingi Nicola Colbran (kiri) dan Leisha Lister (kanan).

Jakarta l Badilag.net

Bekerjasama dengan Family Court of Australia, Ditjen Badilag berencana menyelenggarakan pelatihan Meja Informasi. Pelatihan ini difasilitasi oleh lembaga nirlaba AIPJ (Australia-Indonesia Partership for Justice).

Disepakati, pelatihan akan digelar tiga kali, yaitu sekali pada akhir tahun ini dan dua kali pada tahun depan. Tiap-tiap pelatihan berlangsung selama tiga hari.

Rapat persiapan untuk menyelenggarakan pelatihan ini digelar di lantai 6 Gedung Sekretariat MA, Selasa (4/10/2011). Dipimpin Dirjen Badilag Wahyu Widiana, rapat ini diikuti Nicola Colbran dari AIPJ, Leisha Lister dan Theresa Layton dari Family Court, Sekretaris Ditjen Badilag Farid Ismail, Direktur Pembinaan Administrasi Peradilan Agama Sayyid Usman, dan Tim Monitoring Program Prioritas Pembaruan Badilag.

Ketua PA Jakarta Timur Wahidun, Ketua PA Surabaya Cholidul Azhar dan mantan Panitera/Sekretaris PA Jakarta Selatan yang kini jadi Wakil Panitera PTA, Jakarta Achmad Jufri, diundang sebagai pemateri.

Rapat ini difokuskan untuk berbagi pengalaman mengenai pelayanan terhadap pencari keadilan di peradilan agama dan family court, khususnya dalam hal layanan informasi. Setelah itu, dibuatlah draft kerangka acuan untuk pelaksanaan pelatihan.

Dirjen Badilag mengatakan, pelatihan meja informasi ini idealnya digelar sebelum Ditjen Badilag menyelenggarakan penilaian terhadap pelayanan publik dan meja informasi yang saat ini sedang berlangsung.

“Ya, idealnya memang begitu. Ini terbalik. Tapi tidak apa-apa,” ujar Dirjen. Dikatannya, selama ini pihaknya punya banyak keinginan, tapi tidak punya banyak dana. Karena itu, Badilag kadang berprinsip “Just do it, not how to it”, termasuk dalam penilaian terhadap pelayanan publik dan meja informasi.

Dari kiri: Theresa Layton dari Family Court, Ketua PA Surabaya, Wapan PTA Jakarta, dan Ketua PA Jakarta Timur.

Sebagaimana diketahui, Badilag memang serius menggarap pelayanan publik dan layanan meja informasi. Sebagai bukti, Badilag memasukkan pelayanan publik dan layanan meja informasi sebagai salah satu di antara tujuh program prioritas pembaruan.

Bukti keseriusan lainnya, pada awal Juli lalu Dirjen Badilag juga telah mengeluarkan SK No. 0017/2011 tentang Pedoman Pelayanan Meja Informasi di Lingkungan Peradilan Agama. Tak lama kemudian, Badilag membikin Pedoman Penilaian Pelayanan Publik dan Meja Informasi. Pedoman tersebut dijadikan acuan tim penilai pengadilan tingkat banding saat melakukan penilaian pada Agustus-September 2011 dan Ditjen Badilag pada Oktober-November 2011.

Nicola Colbran mengaku bahagia dilibatkan Badilag untuk semakin memperbaiki pelayanan publik dan meja informasi di peradilan agama.

“Merupakan suatu kehormatan buat kami dilibatkan dalam kerjasama ini,” ujar Nicola, yang fasih berbahasa Indonesia.

Temuan lapangan

Ketua PA Jakarta Timur, Ketua PA Surabaya dan Wakil Panitera PTA memiliki pengalaman berbeda-beda saat mengelola Meja Informasi di satkernya. Meski demikian, mereka sepakat bila petugas meja informasi memperoleh pelatihan dari instruktur yang ahli di bidangnya, mengingat cukup vitalnya peran petugas meja informasi di gedung pengadilan.

“Di tempat kami, petugas meja informasi menjadi tumpuan segala macam pertanyaan. Dia sibuk sekali. Jika ada keluhan, sering ditumpahkan kepadanya. Sering kena marah-marah juga,” ungkap Ketua PA Surabaya.

Para peserta rapat menonton video tentang pelayanan publik di Family Court.

Di pihak lain, Family Court Australia ternyata juga pernah menghadapi situasi yang kurang lebih sama dengan situasi yang dihadapi peradilan agama saat ini.

Sekitar 10 tahun lalu, pengadilan yang menangani masalah-masalah keluarga di Negeri Kanguru itu cenderung mengacuhkan pentingnyaclient service. Petugas informasi, yang di sana mirip dengan customer service, biasanya lebih berorientasi pada kepentingan pengadilan, bukan kepentingan klien.

Hal itu kemudian dibenahi secara serius. “Kami selenggarakan pelatihan bagaimana customer service memuaskan kliennya. Bagaimanapun juga, penilaian terhadap pengadilan akan dibentuk berdasarkan persepsi masyarakat terhadap sikap customer service,” ujar Leisha Lister.

(hermansyah)

Read more...

Comment

FPI Ingatkan Gubernur dan DPRA

Sumber:rakyataceh.com

Banda Aceh - Fron Pembela Islam (FPI) Aceh menyatakan, Qanun Jinayat dan Hukum Acara Jinayat yang disahakan pada tanggal 14 Oktober 2009 lalu oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) periode 2004 - 2009, sudah sepantasnya diterapkan di Aceh. Hal itu ditegaskan Ketua FPI Aceh, Yusuf Al Qardhawi, kepada koran ini kemarin.

Lebih lanjut dikatakan Yusuf Al Qardhawi, jika alasan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf tidak menandatangani Qanun ini dengan alasan masyarakat Aceh belum siap, maka sampai kapanpun bahkan hingga dunia kiamat tidak akan pernah siap.

Diakataknnya, Qanun yang mengatur tindak pidana menurut Islam itu sangat bagus diterapkan di Aceh yang memang menerapkan syariat Islam. Namun demikian tentunya harus disosialisasaikan terlebih dahulu kepada seluruh masyarakat Aceh.

Namun demikian, Yusuf menuturkan jika semua keputusan akhir untuk menerapkan qanun ini ada di tangan pemerintahan Irwandi - Nazar, yang hingga kini belum juga ditandatangani dengan alasan ada sejumlah poin dalam qanun ini tidak sesuai, dan perlu pengayaan materi lebih dalam lagi.

Ditinjau Ulang
Sementara itu ditempat terpisah, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEMA) IAIN Ar-Raniry, Herri Maulizar mengatakan, keputusan Gubernur dan DPRA periode 2009 - 2012 untuk menunda implementasi qanun jinayat dan qanun hukum acara jinayat sudah tepat.

Herri menandaskan, kedua qanun ini harus dikaji kembali secara mendalam, karena subtansi didalamnya tidak jelas dan saling bertentangan. Dia menilai jika qanun peninggalan DPRA periode lalu adalah produk gagal, dan perlu dikaji kembali.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Ketua Pelajar Islam Indonesia (PII) kota Banda Aceh Yusri mengatakan walaupun banyak ormas Islam seperti FPI, KAMMI, dan para santri mesakan DPRA dan Gubernur segera mengimplementasikan qanun jinayat, PII malah sebaliknya.

Dia menuturkan, walaupun sebagai ormas islam PII jelas menolak qanun jinayat, karena setelah dikaji secara mendalam subtansi qanun ini lebih memihak kepada penguasa. Bahkan mengorbankan rakyat Aceh. Masyarakat Aceh dapat mengkaji dan membacanya sendiri.

Dia katakan pada Bab III bagian kedua, khususnya pasal 10 dicantumkan alasan pembenaran dan alasan pemaaf. Qanun ini sudah tepat tidak ditandatangani oleh gubernur, dan sebaiknya DPRA periode ini melakukan pengkajian ulang terhadap subtansi yang dinilai hanya memberatkan masyarakat. (slm)
Read more...

Comment

Fenomena Buku Nikah Made in Muhakkam di Aceh | (03/01)


Langsa | ms-aceh.go.id

Persoalan nikah sirri tanpa dokumen atau dicatat di atas selembar surat bermateri yang dibuat pihak-pihak yang terlibat merupakan hal jamak terjadi. Namun bila nikah sirri atau nikah biasa dicatat oleh lembaga ilegal yang mengatasnamakan lembaga Muhakkam Nangroe Aceh Darussalam (NAD), itu baru hal yang luar biasa. Fenomena tersebut  banyak terjadi di wilayah Aceh.

Menurut Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Langsa Drs. H. Ribat, SH.MH, selama satu tahun bertugas di Mahkamah Syar’iyah Langsa, telah berulang kali dijumpai buku nikah yang dikeluarkan oleh lembaga yang mengatasnamakan dirinya Muhakkam NAD.

Bentuk dan isinya hampir sama dengan buku nikah yang dikeluarkan oleh KUA, memiliki stempel lembaga, dan mengutip beberapa ayat suci al-Quran, juga dilengkapi tandatangan pihak-pihak, saksi, wali dan petugas Muhakkam NAD. Ironisnya lagi, buku nikah produk Muhakkam NAD tersebut sering pula diajukan ke persidangan sebagai bukti dalam perkara perceraian, harta bersama dan warisan.

Selain itu, masih sering dijumpai dalam proses persidangan   surat keterangan yang dikeluarkan oleh kepala desa (geuchik) tentang telah terjadinya talak, sehingga dalam surat tersebut mahkamah hanya diminta untuk mengeluarkan surat akta cerai saja karena talak yang dijatuhkan di luar sidang dipandang sah berdasarkan pendapat para imam dan tengku di daerah tersebut.

Salah seorang tokoh adat (yang tidak bersedia disebutkan namanya) mengatakan kepada redaktur IT MS Langsa bahwa praktek tersebut sudah lama dilakukan sejak mulai konflik dahulu sampai sekarang ini.

Keberadaan lembaga Muhakkam NAD secara sosiologis diakui keberadaannya, karena masyarakat sewaktu konflik sangat susah berhubungan dengan petugas KUA karena jarang di tempat. Di sisi lain masyarakat menganggap bahwa KUA adalah lembaga perpanjangan tangan pemerintah pusat.

Oleh karenanya, menurut tokoh adat tersebut, seharusnya dalam urusan keagamaan, Aceh memilki karekteristik yang berbeda, termasuk diantaranya lembaga pencatatan nikah seperti KUA. Hal ini mengacu kepada Undang-Undang No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Aceh yang meliputi bidang, agama, adat, pendidikan, dan peran ulama.

Memang, sebagaimana dimaklumi bahwa Aceh satu-satunya daerah yang  secara resmi dideklarasikan sebagai daerah yang menerapkan Syar’iat Islam. Untuk menopang pelaksanaan Syari’at tersebut ada beberapa lembaga baru yang dibentuk seperti Dinas syar’iat Islam, Wilayatul Hisbah, Majelis permusyarawatan Ulama (MPU), Majelis adat Aceh (MAA), termasuk di antaranya juga Mahkamah Syar’iyah mengalami restrukturisasi kelembagaan dan kewenangan.

Sementara Kementaraian Agama beserta jajarannya di Aceh, persis tidak mengalami perubahan baik dari segi fungsi, tugas, kedudukannya. Dan secara kelembagaan kementerian Agama bukanlah lembaga ansich Islam, lembaga kementrian agama merupakan lembaga lintas Agama yang salah satu tugas pokoknya adalah memelihara dan menjaga kerukunan umat beragama.

Dan berdasarkan kenyataan, ada beberapa daerah di Indonesia  yang mayoritas masyarakatnya Non Muslim, kepala kementrian agamanya dijabat oleh non Muslim seperti di Tapanuli Utara (Tarutung) dan sebagian Indonesia Timur.

Melihat secara sosiologis persentase mayarakat Non muslim di Aceh sangat-sangat kecil, tentunya keberadaan kementerian Agama di Aceh perlu mengalami restrukturisasi kelembagaan seperti Mahkamah Syar’iyah dan menyesuaikan  dengan visi dan misi  Pemerintahan  Aceh dalam rangka penerapan syariat Islam secara kaffah.

Artinya Kementerian Agama yang ada di Aceh diharapkan tidak lagi fokus dan berorientasi pada menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama (bersikap netral terhadap semua agama), karena masyarakat Aceh 100% muslim, tetapi harus diarahkan kepada lembaga yang berfungsi  penjaga dan pemelihara sekaligus pelaksana syar’iat Islam, di samping tugas pokok lainnya seperti penyelengara haji dan pendidikan Islam. Bila ini terwujud, maka keberadaan Muhakkam NAD akan cepat hilang.

(H. Ribat l www.langsa.ms-aceh.go.id)

Read more...

Comment

Subscribe to this RSS feed
lapor.png maklumat_pelayanan.jpg

HUBUNGI KAMI

Mahkamah Syar'iyah Aceh

Jl. T. Nyak Arief, Komplek Keistimewaan Aceh

Telp: 0651-7555976
Fax: 0651-7555977

Email :

ms.aceh@gmail.com

hukum.msaceh@gmail.com

kepegawaianmsaceh@gmail.com

jinayat.msaceh@gmail.com

LOKASI KANTOR