msaceh

Berita

Berita (1220)

Diskusi Kelompok Pada Diklat Ekonomi Syariah | (6/9)

Bogor | www.ms-aceh.go.id

Menjelang berakhirnya Pendidikan dan Pelatihan Sertifikasi Hakim Ekonomi Syariah Peradilan Agama seluruh Indonesia yang sedang berlangsung di Balitbang Diklat Kumdil MA Megamendung, Bogor Jawa Barat diisi dengan kegiatan diskusi.

Seperti diketahui, bahwa calon peserta diklat diharuskan membuat makalah seputar ekonomi syariah dan diserahkan kepada Panitia. Makalah yang telah diseleksi dan dipandang makalah yang memenuhi kriteria didiskusikan oleh peserta diklat.

Untuk Kelas A, makalah yang dianggap layak untuk dipresentasikan dan dibahas secara bersama-sama adalah makalah yang ditulis oleh Drs. H. Pelmizar. M.HI, Hakim Tinggi PTA Jakarta dengan judul Proses Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama dan makalah yang dibuat Drs. H. Amar Syofyan, MH, Hakim PA Kisaran dengan judul Penyimpangan dan Kendala-Kendala Dalam Penerapan Sistem Murabahah pada Bank Syariah Mandiri.

Untuk sesi pertama, tampil H. Pelmizar dengan moderator Drs. H. Anang Permana, SH., MH, Wakil Ketua PA Cirebon. Dalam makalahnya, H. Pelmizar menguraikan  bahwa sengketa ekonomi syariah adalah merupakan kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana disebutkan pada Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Kewenangan PA tersebut dipertegas lagi dengan adanya putusan MK No. 93/PUU-X/2012 tanggal 29 Agustus 2013 yang menegaskan bahwa penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Dari penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2008 telah  memunculkan pilihan hukum penyelesaian sengketa ekonomi syariah (choice of forum) pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. ”Alhamdulillah, tidak ada lagi pilihan hukum dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah pasca putusan MK tersebut dan sepenuhnya menjadi kewenangan PA,” tandas H. Pelmizar yang disambut tepuk tangan peserta diklat.

Menurut H. Pelmizar, para pihak sebelum mengajukan sengketa melalui jalur pengadilan  dapat menyelesaikan perkaranya di luar pengadilan dengan cara perdamaian.

Dalam agama Islam perdamaian (al-sulh) sangat dianjurkan dan merupakan doktrin dalam bidang muamalah, karena perdamaian adalah fitrah manusia. Sementara itu, dalam zaman modern sekarang ini alternative dispute resolution (alternatif penyelesaian sengketa) dapat dijadikan wadah penyelesaian sengketa ekonomi syariah.

Setentang penyelesaian sengketa ekonomi syariah, H. Pelmizar menjelaskan bahwa perkara sengketa ekonomi syariah adalah merupakan gugatan perdata yang diajukan ke PA oleh Penggugat atau kuasanya sebagamana mengajukan gugatan perdata pada umumnya.

Majelis Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara berpedoman kepada hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, hal ini sebagaimana diatur pada Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.  “Pemeriksaan perkara sengketa ekonomi syariah sama dengan pemeriksaan gugatan perdata lainnya,” kata H. Pelmizar yang berasal dari Sumatera Barat ini.

Pada sesi kedua, tampil pemakalah H. Amar Syofyan yang menyajikan tentang sistim murabahah pada Bank Syariah Mandiri. Dalam penjelasannya, H. Amar Syofyan menguraikan transaksi murabahah berpedoman kepada Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Murabahah itu sendiri dibahas H. Amar Syofyan secara mendetail, baik pengertian dan prakteknya maupun kendala yang dihadapi.

Tidak lupa pula pemakalah mengajak peserta diklat pada khususnya dan warga peradilan agama seluruh Indonesia pada umumnya untuk menggunakan Bank Syariah dalam melakukan transaksi perbankan. “Saya mengajak kita semua untuk memanfaatkan jasa Bank Syariah dalam kegiatan perbankan karena bebas dari riba,” kata Hakim yang berasal dari Kabupaten Batubara Sumatera Utara ini.

Dalam sesi tanya jawab, peserta banyak mempertanyakan tentang seputar ekonomi syariah maupun manfaat jasa Bank Syariah. Dari pertanyaan-pertanyaan dan jawaban serta saran dari peserta, forum diskusi merekomendasikan agar Hakim yang telah ikut diklat sertifikasi ekonomi syariah menjadi Majelis Hakim dalam memeriksa dan mengadili sengketa ekonomi syariah di PA masing-masing. Selain itu, dihimbau kepada warga peradilan agama agar menjadi nasabah Bank Syariah. Diskusi dipandu oleh Drs. H. Mawardi Amien, SH., M.HI dan Drs. H. Arief Saefuddn, SH., MH.

Sementara itu diskusi pada Kelas B yang tampil sebagai pemakalah pertama adalah Cholidul Azhar, SH., M. Hum dari PTA Makassar dengan judul makalah Aspek Hukum Perbankan Syariah Dalam Kaitannya Dengan Kompetensi Absolut Pengadilan Agama.

Dan  pemakalah kedua adalah Dra. Nur Djannah Syah, SH., MH dari PA Jakarta Pusat yang diperbantukan di Badilag sebagai Hakim Yustisial dengan makalah berjudul Beberapa Hal Yang Harus Dipahami Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah.  Diskusi pada kelas B dipandu oleh Dr. H. Bunyamin Alamsyah, SH. M. Hum.

Sedangkan diskusi pada kelas C yang tampil sebagai pemakalah pertama adalah Dr. B. Madjdudin, MH yang berasal dari PTA Bandar Lampung yang membawakan makalah berjudul Jarimah Ta’zir Bagi Pelaku Insider Trading.

Pemakalah kedua adalah Drs. Paet Hasibuan, SH., MH dari PA Pariaman dengan makalah berjudul Eksekusi Hak Tanggungan Dalam Teori dan Praktek di Pengadilan Agama.   Diskusi pada kelas C dipandu oleh Dr. H. Komari, SH., M. Hum.

Diskusi berjalan dengan tertib dan lancar dan peserta diskusi nampak aktif dalam mengikuti kegiatan. Misalnya saja peserta dari kelas A Uray Gapima Aprianto, M.H. yang berasal dari PA Mempawah memberikan ide-ide cemerlang dan menarik dengan gaya bahasa khasnya yang berasal dari Kalimantan Barat.

Selain keaktifan peserta, juga hal yang tidak kalah pentingnya adalah kepiawaian pemandu sehingga diskusi hidup dan menarik. Diskusi berakhir pukul 16.30 Wb sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.

(AHP)

Read more...

Comment

Diskusi Kecil Tentang Itsbat Nikah Di Mahkamah Syar’iyah Aceh | (29/03)

Banda Aceh | www.ms-aceh.go.id

Sekitar pukul 14.30 Wib hari Rabu tanggal 28 Maret 2012 datang 5 (lima) orang Ibu-ibu berkunjung ke Mahkamah Syar’iyah Aceh dan menyatakan ingin bertemu dengan Ketua. Kedatangan Ibu-ibu ini disambut baik oleh Ketua yang didampingi Wakil Ketua, Panitera, Wakil Panitera dan Wakil Sekretaris serta seorang Hakim Tinggi. Setelah perbincangan dimulai, lalu juru bicara Ibu-ibu tersebut yang bernama Khairani Arifin memperkenalkan diri bahwa mereka adalah dari beberapa lembaga swadaya masyarakat yang selalu konsisten untuk memperjuangkan kepentingan kaum perempuan. Kelima Ibu-ibu ini adalah Khairani Arifin dan Suraiya Kamaruzaman dari The Australia Indonesia Partnership for Local Governance Innovations for Communities in Aceh (LOGIGA2). Cut Risna Aini dari Solidaritas Perempuan. Desy Setiawaty dari Flower Aceh dan Leila Juari dari Relawan dan untuk Kemanusian (RPuK).

Khairani Arifin menyatakan bahwa maksud dan tujuan mereka datang ke Mahkamah Syar’iyah Aceh adalah untuk mendiskusikan tentang Itsbat Nikah secara massal yang akan mereka ajukan dalam waktu dekat ini di Mahkamah Syar’iyah Meureudu Kabupaten Pidie Jaya. Menurut Khairani, banyak di antara masyarakat tidak memiliki buku nikah sekalipun pernikahan mereka telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum agama. Hal ini berdasarkan penelitian yang mereka lakukan maupun pengalaman ketika mendampingi dalam beberapa kasus rumah tangga yang ditangani ternyata banyak ditemui keluarga yang tidak memiliki buku nikah.

Dijelaskan Khairani lebih lanjut, mereka menemukan di satu desa terdapat 200 (dua ratus) keluarga yang tidak memiliki buku nikah dan keluarga tersebut mengalami kesulitan ketika akan mengurus hak-hak sipil yang diperlukan, misalnya mengurus kartu keluarga, mengurus akta kelahiran anak dan lain-lain. “Oleh karena itulah kami merasa terpanggil untuk membantu keluarga yang tidak memiliki buku nikah tersebut dengan melakukan terobosan hukum dengan cara mengajukan itsbat nikah massal”, kata Khairani sambil menyerahkan data penelitian mereka tentang keluarga yang tidak memiliki buku nikah kepada Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh Drs. H. Idris Mahmudy, SH. MH.

Ditambahkannya, bahwa penyebab masyarakat tidak memiliki buku nikah tersebut ada 2 (dua) faktor, yaitu pernikahan yang dilaksanakan pada masa konflik dan pernikahan yang dilangsungkan di luar negeri pada masa konflik. Seperti diketahui, bahwa di Aceh pernah terjadi masa konflik yang berkepanjangan yang mengakibatkan kehidupan masyarakat pada waktu itu serba sulit termasuk di dalamnya ketika melangsungkan pernikahan.

Ibu yang lain bernama Suraiya Kamaruzaman menjelaskan bahwa mereka telah menemui pihak Kementerian Agama untuk membicarakan pelaksanaan nikah secara massal bagi keluarga yang tidak memiliki buku nikah. Dari pembicaraan tersebut diperoleh penjelasan bahwa mereka harus mengajukan itsbat nikah ke Mahkamah Syar’iyah dan pihak Kementerian Agama dalam hal ini KUA Kecamatan akan menerbitkan buku nikah setelah pernikahan tersebut diitsbatkan terlebih dahulu. “Agar buku nikah tersebut dapat diterbitkan oleh KUA Kecamatan, maka kami mohon kiranya Mahkamah Syar’iyah Aceh memberi izin kepada Mahkamah Syar’iyah tingkat pertama melaksanakan persidangan itsbat nikah tersebut”, kata Suraiya Kamaruzaman sambil berharap agar permohonan mereka dapat dikabulkan.

Menanggapi permohonan Ibu-ibu dari lembaga swadaya masyarakat ini, Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh H. Idris Mahmudy menjelaskan bahwa itsbat nikah harus diajukan ke Mahkamah Syar’iyah setempat sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dan tidak diajukan secara massal karena persidangan tersebut ada tahap-tahapannya. Dijelaskannya lagi, sebelum perkara itsbat nikah diajukan ke Mahkamah Syar’iyah terlebih dahulu pernikahannya didata dengan baik, misalnya siapa walinya, siapa saksinya, apa maharnya dan lain-lain. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai terjadi penyelundupan hukum, yaitu itsbat nikah terhadap perkawinan secara poligami atau terhadap nikah sirri. Dijelaskannya lagi, bahwa dalam mengajukan perkara itsbat nikah tersebut dapat juga menghubungi pemerintah daerah setempat agar dapat membantu dana yang diperlukan, sekaligus agar mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

Wakil Ketua Drs. H. M. Jamil Ibrahim, SH. MH yang turut hadir pada pertemuan tersebut memberikan apresiasi yang tinggi terhadap Ibu-ibu dari LSM yang terpanggil hatinya untuk membantu masyarakat agar setiap perkawinan memiliki buku nikah seperti yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Semoga niat yang tulus dari Ibu-ibu dapat terlaksana dengan baik, kata beliau.

Nampak Ibu-ibu dari Lembaga Swadaya Masyarakat ini merasa puas dan senang atas penerimaan dan penjelasan yang diberikan dan tanpa terasa pertemuanpun berakhir menjelang tibanya waktu shalat Ashar.

(H. Abd. Hamid Pulungan)

Read more...

Comment

diskusi hukum tentang Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan Permasalahannya

Banda Aceh | www.ms-aceh.go.id (29/02/2012)

Hakim Tinggi dan Panitera Pengganti Mahkamah Syar’iyah Aceh kembali mengadakan diskusi hukum secara berkelanjutan dengan mengambil tempat di Aula pertemuan Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh. Kegiatan diskusi yang dilaksanakan pada tanggal 28 Pebruri 2012 tersebut mengambil Topik  Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan Permasalahannya dengan pembawa makalah Drs. Baidhowi HB, SH.

Pemakalah dengan kepiawiannya menyajikan materi dengan baik dan sempurna. Sesekali diselingi dengan humor segar yang dapat menambah semangat dan ketekunan peserta dalam mengikuti diskusi tersebut. Adalah seorang Baidhowi yang memiliki koleksi anekdot yang beragam pesona dan menjadi ciri khas tersendiri bagi beliau dalam setiap menyampaikan ide pemikiran cemerlang dan pendapatnya.

Dalam makalah beliau sebanyak 8 halaman tersebut disampaikan seputar masalah pemeriksaan saksi di persidangan. Disebutkan, bahwa saksi adalah merupakah salah satu alat-alat bukti yang  diatur dalam pasal 284 RBg, pasal 164 HIR dan pasal  1866 KUH Perdata.

Menurut H.A. Mukti Arto dalam bukunya  Praktek Perkara Perdata Pada   Pengadilan Agama halaman 165 mengartikan “saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Sementara itu dalam  Buku II disebutkan, kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil ke persidangan”, demikian paparan Baidhowi.

Baidhowi menerangkan bahwa saksi haruslah memenuhi 2 (dua) unsur syarat tertentu, yaitu syarat formil dan syarat materil. Syarat formil yaitu (1). Memberikan keterangan di depan sidang Pengadilan (2). Bukan orang yang dilarang didengar keterangannya sebagai saksi (3). Bagi kelompok yang berhak mengundurkan diri menyatakan kesediannya untuk diperiksa sebagai saksi (4). Mengucapkan sumpah menurut agama yang dianutnya. Sedangkan syarat materil yaitu (1). Keterangan yang diberikan mengenai peristiwa yang dialami, didengar dan dilihat sendiri (2). Keterangan yang diberikan mempunyai sumber pengetahuan yang jelas (3). Keterangan yang diberikan harus bersesuaian satu dengan yang lain. Ditambahkan, bahwa saksi yang telah memenuhi syarat formil dan materil, maka nilai kekuatan pembuktiannya adalah bersifat bebas, sedangkan apabila saksinya hanya 1 (satu) orang, maka nilai pembuktiannya adalah permulaan.

Dijelaskan oleh pemakalah bahwa Prof. Dr. H. Abdul Manan, SH. S.IP. M. Hum dalam Bimtek kepada Hakim di Banda Aceh pada tanggal 6 Maret 2011 diterangkan tentang pemeriksaan saksi, yaitu (1). Saksi diperiksa satu persatu (2). Tidak semua saksi disumpah, ada yang hanya mengucapkan janji (3). Harus ditanyakan hubungan saksi dengan Penggugat dan Tergugat (4). Tidak perlu dikonfrontir keterangan saksi kepada para pihak (5). Apabila telah memberikan keterangan, saksi dipersilahkan duduk di bagian belakang ruang sidang dan bersamaan keluar sidang dengan para pihak.

Peserta diskusi tampak serius mengikuti jalannya diskusi untuk mengetahui lebih baik lagi tentang tata cara pemeriksaan saksi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan saksi. Setelah pemakalah selesai menyampaikan materi makalahnya, lalu dilanjutkan dengan tanya jawab dan akhirnya Wakil Ketua sebagai nara sumber menyampaikan kata kunci tentang pemeriksaan saksi tersebut. Sebagai kesimpulan dari diskusi tersebut telah dirumuskan sebagai berikut : (1) Saksi harus memenuhi syarat formil dan syarat materil sebagai saksi. (2) Para prinsipnya dalam perkara gugatan termasuk taklik talak tetap diperlukan keterangan saksi. (3). Saksi istifadhah hanya menjadi bukti awal dan harus didukung bukti lain, misalnya dengan sumpah suplatoir. (4). Persyaratan tentang umur saksi disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang. Dan Majelis Hakim dipersilahkan memilih Undang-Undang mana  yang dijadikan rujukan untuk menentukan seorang saksi sudah dipandang dewasa, dan harus disebutkan dalam pertimbangan hukum. (5). Majelis Hakim terlebih dahulu memperingatkan saksi supaya memberikan keterangan sesuai dengan sumpahnya, sebab apabila saksi berbohong dalam memberikan keterangan akan mendapatkan hukuman dari Allah Swt.

Adapun permasalahan yang timbul sekitar saksi adalah tentang pemeriksaan saksi keluarga, yaitu apabila saksi keluarga penggugat tersebut ternyata 1 (satu) orang dan 1 (satu) orang dari saksi keluarga tergugat. Ada yang berpendapat bahwa kesaksian tersebut dapat dibenarkan, apabila ternyata saksi keluarga dari tergugat mendukung dan membenarkan gugatan Penggugat. Namun demikian rumusan diskusi berpendapat bahwa hasil Rakernas Mahkamah Agung RI tahun 2011 yang mengharuskan saksi penggugat haruslah minimal 2 (dua) orang, menjadi pedoman dalam pelaksanaan tugas.

Berkembang juga tentang saksi testimonium de auditu, meskipun pada prinsipnya saksi tersebut bukan saksi kecuali bukti awal yang harus didukung oleh bukti lain, tetapi dapat diterapkan dalam hal yang sangat sulit diperoleh kesaksiannya, misalnya  telah lama kejadiannya seperti wakaf, itsbat nikah bagi orang yang sudah tua,  yang tidak mungkin lagi dijumpai saksi aslinya.

Dijumpai dalam praktek masih banyak keterangan saksi yang tidak tuntas diperiksa, artinya masih memerlukan keterangan tambahan sesuai dengan subtansi masalah yang diperiksa, sehingga Majelis Hakim kesulitan dalam merumuskan pertimbangan hukum dan putusan. Oleh karena itu dalam diskusi tersebut dijelaskan dalam pemeriksaan saksi harus menggunakan rumus  5 W + 1 H.

Tanpa terasa waktupun telah menunjukkan pukul 12.00 Wib yang berarti tanda selesainya diskusi hukum dan akan dilanjutkan pada bulan depan, yaitu tanggal 20 Maret 2012. Topik yang akan dibahas pada diskusi yang akan datang adalah Gugat Rekonpensi dan Format Putusan dan hal aktual yang terkait dengan hal itu dan yang bertindak sebagai pemakalah adalah Dra. Masdarwiaty, MA.

(by. H. Abd. Hamid Pulungan)

 

Read more...

Comment

Subscribe to this RSS feed
lapor.png maklumat_pelayanan.jpg

HUBUNGI KAMI

Mahkamah Syar'iyah Aceh

Jl. T. Nyak Arief, Komplek Keistimewaan Aceh

Telp: 0651-7555976
Fax: 0651-7555977

Email :

ms.aceh@gmail.com

hukum.msaceh@gmail.com

kepegawaianmsaceh@gmail.com

jinayat.msaceh@gmail.com

LOKASI KANTOR