msaceh

Konsinyasi di Pengadilan Agama yang Dinyatakan Sah dan Berharga (Van Waarde Verklaring)

Dilihat: 1514

Konsinyasi di Pengadilan Agama yang Dinyatakan Sah dan Berharga (Van Waarde Verklaring)

Oleh Rizki Adreni Saragih, S.H.

( CPNS Analis Perkara Peradilan)

PENDAHULUAN

Konsinyasi merupakan sebuah istilah yang tidak lazim didengar oleh aparat peradilan agama terlebih oleh masyarakat pencari keadilan. Hal tersebut menarik perhatian penulis karena minimnya literasi terkait konsinyasi bahkan di lingkungan Pengadilan Agama tidak ditemukan pedoman khusus dan peraturan yang membahas lengkap tentang konsinyasi.

Dalam praktiknya di Pengadilan Agama konsinyasi jarang sekali terjadi hal tersebut yang menyebabkan sebagian besar aparat Pengadilan Agama  belum mengenal konsinyasi. Secara umum aparat pengadilan agama memahami konsinyasi hanya sekedar sebagai titipan dari salah satu pihak yang berperkara kepada Pengadilan Agama, baik titipan itu berupa uang ataupun barang, titipan yang dimaksudkan untuk diserahkan kepada pihak lawan yang bersengketa dan yang berhak menerimanya.

Pengadilan Agama menerima uang atau barang titipan itu dengan membuat berita acara penitipan begitu saja atau dengan semacam tanda bukti titipan, tanpa prosedur konsinyasi (penitipan) yang benar menurut undang-undang dan memperoleh penetapan pengadilan sehingga konsinyasi dinyatakan sah dan berharga (van waarde verklaring). Maka dari itu, berikut penulis akan memaparkan lebih jauh tentang konsinyasi dan bagaimana konsinyasi yang dinyatakan sah dan berharga (van waarde verklaring).

PEMBAHASAN  

Pengertian Konsinyasi Kata Konsinyasi berasal dari bahasa Belanda consignatie yang berarti penitipan uang atau barang pada pengadilan untuk pembayaran utang. Menurut bahasa Inggris, kata konsinyasi berasal dari kata consign, atau consignment yang berarti menyerahkan, mengirimkan, menyampaikan. Menurut istilah hukum, konsinyasi berarti penitipan uang pada pengadilan.

Dalam ilmu ekonomi, dikenal juga istilah konsinyasi, yang berarti sebuah bentuk kerja sama penjualan yang dilakukan oleh pemilik barang (produk) dengan penyalur (toko), dimana pemilik produk nanti menitipkan barangnya kepada penyalur untuk dijual ditokonya. Secara umum konsinyasi hanya dikenal terbatas sebagai penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1404 KUHPerdata: “Jika kreditur menolak pembayaran, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas apa yang harus dibayarnya, dan jika kreditur juga menolaknya, maka debitur dapat menitipkan uang atau barangnya kepada Pengadilan.

Penawaran demikian, yang diikuti dengan penitipan, membebaskan debitur dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu dilakukan menurut undang-undang, sedangkan apa yang dititipkan secara demikian adalah atas tanggungan kreditur”.

Berdasarkan pasal tersebut, menurut hemat penulis bahwa konsinyasi merupakan suatu tindakan penitipan sejumlah uang (dapat berupa uang atau benda bergerak) oleh debitur untuk pembayaran utang terhadap kreditur karena kreditur menolak pembayaran utang tersebut sehingga debitur menitipkan uang yang akan dibayarkan kepada kreditur tersebut kepada Pengadilan yang berwenang.

Konsinyasi tidak hanya digunakan dalam perkara utang-piutang akan tetapi juga digunakan dalam masalah pemenuhan hak dan kewajiban. Artinya orang yang menurut hukum (termasuk oleh putusan pengadilan) diwajibkan untuk membayar sejumlah uang kepada orang yang berhak, namun oleh karena orang yang berhak itu menolak menerimanya, sehingga orang yang berkewajiban tersebut menitipkan uangnya kepada pengadilan.

Sebagai contoh di Pengadilan Agama konsinyasi yang dimaksud adalah penitipan uang pasca ikrar talak oleh Pemohon kepada Pengadilan Agama untuk diserahkan kepada Termohon dalam hal Termohon tidak bersedia menerima atau tidak hadir dipersidangan. Dasar Hukum   Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu Buku Ketiga Pasal 1404 sampai Pasal 1412. Reglement op de Burgerlijk Rechsvordering (RV), yaitu Pasal 809 sampai Pasal 812. Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian ke Pengadilan Negeri dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian ke Pengadilan Negeri dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Buku II Mahkamah Agung RI tentang Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Umum dan Perdata Khusus untuk Pengadilan Negeri.  

Ruang Lingkup Jangkauan Konsinyasi di Pengadilan Agama Jika disepakati bahwa pengertian konsinyasi adalah penitipan uang atau barang di pengadilan, maka ruang lingkup jangkauan konsinyasi di Pengadilan Agama meliputi: Perjanjian Utang Piutang Perkara utang piutang umumnya bukanlah kewenangan Pengadilan Agama, namun setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka Pengadilan Agama memasuki babak baru dengan diberikannya wewenang mengadili perkara ekonomi syar’iyah.

Dalam perkara ekonomi syar’iyah tersebut dimungkinkan adanya sengketa utang piutang dalam transaksi mudharabah atau murabahah diperbankan syar’iyah, baik antara orang dengan bank syar’iyah atau lembaga keuangan syar’iyah lainnya, atau antar lembaga keuangan syar’iyah atau perbankan syar’iyah satu sama lain, sehingga tidak tertutup kemungkinan akan dipergunakan lembaga konsinyasi di Pengadilan Agama.

Konsinyasi semacam ini, menurut Drs. H. Masrum M Noor, dalam artikelnya yang berjudul Konsinyasi di Pengadilan Agama, sampai saat ini belum pernah ada konsinyasi semacam ini yang terjadi di Pengadilan Agama, mungkin memang sengketa utang piutang yang transaksinya berdasarkan prinsip syar’iyah selama ini dapat diselesaikan melalui forum lain atau lembaga lain selain lembaga konsinyasi atau bahkan memang belum pernah ada kasus utang piutang secara syar’iyah yang memerlukan konsinyasi sama sekali. Namun demikian, bagi Aparat Pengadilan Agama tidak boleh lengah, apalagi mengabaikan persoalan konsinyasi ini, karena dimasa yang akan dating sangat mungkin terjadi.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1404 KUHPerdata dan Pasal 808 RV, objek jangkauan konsinyasi di pengadilan hanya mengenai pembayaran uang atau barang, yang merupakan akibat dari terjadinya perjanjian utang piutang. Hal ini menjadi kewenangan Pengadilan Agama jika perjanjian utang piutang tersebut dilakukan berdasarkan akad syar’iyah. Pasal 810 RV yang menyatakan, bila barang atau uang yang ditawarkan tidak diterima kreditur, maka debitur boleh menitipkannya di pengadilan, asal memperhatikan apa yang diatur di bagian Kedua Bab Keempat Buku Ketiga KUHPerdata.

Dalam konteks perikatan utang piutang, konsinyasi merupakan salah satu cara berakhirnya perikatan utang piutang. Agar supaya penawaran yang disertai penitipan itu sah, maka harus memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan Pasal 1405 KUHPerdata. Konsinyasi tidak mempunyai kekuatan hukum sebelum ditetapkan oleh pengadilan sebagai konsinyasi yang sah dan berharga (van waarde verklaring).

Agar penitipan konsinyasi tersebut diangggap sah dan berharga (van waarde verklaring), maka debitur (pemohon) harus meminta kepada pengadilan, agar konsinyasinya dinyatakan sah dan berharga (van waarde verklaring). Uang Eksekusi Keputusan rapat kerja Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama tanggal 27-29 Januari 2017 di Bandung, pada angka 24, menentukan, konsinyasi baik itu uang nafkah iddah, mut’ah dan madliyah maupun hasil eksekusi lainnya, seperti penjualan lelang harta bersama, warisan atau ekonomi syar’iyah kalau ada pihak yang tidak mau menerima, maka pihak yang berperkara dapat mengajukan surat permohonan konsinyasi, kemudian panitera menyiapkan register konsinyasi dan jurnal konsinyasi, sehingga dapat terkontrol.

Dalam kumpulan formulir Kepaniteraan Pengadilan Agama yang diterbitkan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama telah ditetapkan antara lain mengenai formulir-formulir terkait penitipan pasca ikrar talak yang merupakan kewajiban mantan suami terhadap hak-hak mantan istri. Barangkali mengacu kepada hasil rumusan itulah salah satu pendapat menyatakan, uang hasil dari pelaksanaan eksekusi yang tidak diambil oleh pemiliknya atau yang pemiliknya tidak diketahui keberadaannya, harus disimpan di pengadilan sebagai konsinyasi.

Eksekusi perkara waris yang objeknya berupa uang misalnya, dimungkinkan terjadi, bahwa salah seorang ahli waris yang menerima bagian waris tidak mau menerima bagiannya atas alasan tertentu, atau ia tidak diketahui keberadaannya. Dalam keadaan demikian, menurut pendapat tersebut, uang bagian ahli waris itu disimpan di pengadilan. Dalam kasus pembayaran akibat terjadinya cerai talak, dimana dalam putusan sang suami dibebani kewajiban membayar nafkah iddah, mut’ah, atau madliyah kepada sang istri. Ketika talak dijatuhkan sang suami siap membayar, tapi sang istri tidak hadir dipersidangan.

Dalam keadaan demikian, menurut pendapat tersebut, uang yang merupakan hak istri tersebut dititipkan di pengadilan sebagai konsinyasi. Menurut penulis, konsinyasi penitipan uang pasca ikrar talak merupakan konsinyasi yang paling sering terjadi di Pengadilan Agama. Namun tidak banyak yang memahami bagaimana prosedur konsinyasi pasca ikrar talak tersebut. Dalam praktiknya, nafkah iddah, mut’ah, atau madliyah yang merupakan hak istri pasca ikrar talak tersebut diserahkan kepada aparat Pengadilan Agama tanpa prosedur yang jelas dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Berdasarkan bentuk formulir yang ditetapkan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI terkait penitipan uang pasca ikrar talak, sebagaimana disinggung diatas, dapat diterapkan di Pengadilan Agama, maka secara kronologis tata cara penitipan uang pasca ikrar talak adalah sebagai berikut: Pemohon mengajukan permohonan menitipkan uang kepada pengadilan untuk diserahkan kepada Termohon dibagian Layanan Pendaftaran.

Petugas pendaftaran melalui Panitera menyerahkan permohonan penitipan uang tersebut kepada ketua pengadilan. Ketua pengadilan membuat penetapan atas permohonan penitipan uang, yang isinya: Mengabulkan permohonan Pemohon.

Memerintahkan Panitera untuk: menyimpan sementara uang/barang tersebut, memberitahukan dan menyerahkan kepada Termohon. Memerintahkan kepada Termohon supaya mengambil titipan tersebut di pengadilan agama pada hari, tanggal dan jam yang ditentukan. Jika dalam waktu 6 bulan sejak penetapan, tidak diambil akan dikembalikan kepada Pemohon.

Panitera membuat berita acara penyimpanan uang titipan (untuk sementara) dengan disaksikan dua orang saksi, dan selanjutnya disimpan di Bank. Panitera memberitahu Termohon agar mengambil uang titipan. Panitera membuat berita acara penyerahan uang kepada Termohon dengan disaksikan oleh dua orang saksi. Panitera memberitahu Pemohon bahwa uang telah diambil oleh Termohon. Panitera memberitahu Pemohon untuk mengambil uang titipan, jika termohon dalam waktu 6 (enam) bulan tidak mengambilnya. Panitera membuat berita acara penyerahan uang kepada Pemohon dengan disaksikan 2 (dua) orang saksi.  

Tata Cara Pelaksanaan Konsinyasi Dalam perkara utang piutang apabila kreditur tidak bersedia menerima pembayaran dari debitur, debitur dapat mengajukan aanbod van gereede betaling atau penawaran kesiapan membayar utang. Apabila penawaran tersebut masih juga tidak diterima, maka uang atau perkara tersebut dapat dikonsinyasikan dengan mengajukan permohonan pembayaran utang dan penitipan uang (konsinyasi) ke Pengadilan Agama agar memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (BHT) sehingga konsinyasi tersebut dinyatakan sah dan berharga (van waarde verklaring).

Tata cara pelaksanaan konsinyasi di pengadilan dapat dibaca pada Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, halaman 134-135. Hal yang sama juga dapat dibaca pada Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Umum dan Perdata Khusus untuk Pengadilan Negeri. Tata cara dimaksud sebagai berikut: Debitur mengajukan permohonan tentang penawaran pembayaran dan penitipan uang ke ke pengadilan agama yang meliputi tempat dimana persetujuan pembayaran harus dilakukan atau  pengadilan agama dimana Termohon bertempat tinggal atau tempat tinggal yang telah dipilihnya (debitur sebagai Pemohon dan kreditur sebagai Termohon).

Permohonan konsinyasi didaftar dalam register permohonan konsinyasi. Ketua pengadilan agama memerintahkan Juru Sita pengadilan dengan disertai 1 (dua) orang saksi, dituangkan dalam surat penetapan, untuk melakukan penawaran pembayaran kepada kreditur pribadi ditempat tinggal atau tempat tinggal pilihannya. Juru Sita dengan disertai 2 (dua) orang saksi menjalankan perintah ketua pengadilan agama tersebut dan dituangkan dalam berita acara tentang pernyataan kesediaan untuk membayara utang (aanbod van gereede betaling).

Pihak kreditur diberikan salinan berita acara tersebut. Juru Sita membuat berita acara pemberitahuan bahwa karena pihak kreditur menolak pembayaran, uang tersebut akan dilakukan penyimpanan (konsinyasi) di kas kepaniteraan Pengadilan Agama yang akan dilakukan pada hari, tanggal dan jam yang ditentukan dalam berita acara tersebut. Pada waktu yang telah ditentukan pada huruf f tersebut, Juru Sita dengan disertai 2 (dua) orang saksi menyerahkan uang tersebut kepada Panitera pengadilan agama dengan menyebutkan jumlah dan rincian uangnya untuk disimpan dalam kas kepaniteraan Pengadilan Agama sebagai uang konsnyasi. Kemudian berdasarkan SEMA No 4 Tahun 2008 Panitera harus menyimpan uang konsinyasi tersebut di Bank. Secara teknis pelaksaan konsinyasi di pengadilan dapat digambarkan sebagai berikut: Pemohon menghadap petugas pendaftaran kemudian petugas pendaftaran memeriksa permohonan dan menaksir panjar biaya. Pemohon menghadap kasir untuk menerima slip dan selanjutnya membayar biaya dibank.

Permohonan didaftarkan dalam register konsinyasi. Berkas dikirim ke Panitera dan Panitera mempersiapkan penetapan. Ketua membuat penetapan untuk melakukan penawaran. Panitera menunjuk Juru Sita dan saksi. Panitera membuat surat tugas untuk Juru Sita. Juru Sita melakukan penawaran. Juru Sita melaporkan ke Panitera kemudian Panitera melaporkan kepada Ketua. Panitera membuat berita acara penerimaan uang. Ketua membuat penetapan konsinyasi. Panitera menerima penetapan konsinyasi. Kasir memberikan slip penyetoran uang konsinyasi ke bank. Petugas mencatat dalam buku register.   Akibat Hukum Konsinyasi Dalam perkara utang piutang telah dilakukan penawaran yang diikuti dengan penitipan uang/barang di pengadilan maka debitur dianggap sebagai orang yang telah membayar utang dan karenanya terbebas dari kewajiban membayar utang (Pasal 1404 KUHPerdata).

Tapi Pasal 1408 KUHPerdata menentukan, selama apa yang dititipkan tidak diambil oleh si berpiutang, si berutang dapat mengambil kembali, kecuali jika si berutang telah memperoleh keputusan hakim yang bekekuatan hukum tetap (BHT), yang menyatakan penawaran adalah sah dan berharga. Jika demikian, si berpiutang sudah tidak dapat mengambil kembali. Konsinyasi tidak mempunyai kekuatan hukum sebelum ditetapkan oleh pengadilan sebagai konsinyasi yang sah dan berharga (van waarde verklaring). Agar konsinyasi dianggap sah dan berharga (van waarde verklaring) maka debitur (Pemohon) harus meminta kepada Pengadilan, agar konsinya dinyatakan sah dan berharga (van waarde verklaring). Dengan demikian hakim yang akan menentukan apakah penawaran dan penitipan itu berharga atau tidak. Namun dalam keadaan tertentu, tanpa penetapan sah dan berharga dari Hakim, suatu konsinyasi dianggap sah dan berharga, yaitu: Apabila konsinyasi didahului pemberitahuan yang disampaikan secara resmi oleh Juru Sita kepada Hakim. Apabi debitur membebaskan diri dari benda yang ditawarkan dengan jalan menyerahkan benda yang disimpan dalam kas konsinyasi atau kas penyimpanan di kepaniteraan pengadilan.

Jika terhadap penawaran dan konsinyasi dibuatkan berita acaranya, baik oleh notaris maupun oleh Juru Sita yang dihadiri oleh dua orang saksi. Dalam berita acara konsinyasi terdapat pernyataan untuk menegur kreditur mengambil benda yang dititipkan pada kepaniteraan, jika kreditur tidak muncul menerima pembayaran/penyerahan benda. Menurut penulis, dalam hal Konsinyasi tersebut telah memperoleh keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (BHT), meskipun kreditur tidak mau menerima uang atau mengambil uang tersebut, konsinyasi tersebut tetap dinyatakan sah dan berharga (van waarde verklaring) sehingga debitur telah dibebaskan dari perikatan utang piutang sehingga tidak memiliki kewajiban membayar utang.

Bagaimana jika si berpiutang tidak mengambil uang konsinyasi tersebut? Dalam keadaan demikian, uang konsinyasi tetap disimpan di Bank berdasarkan ketentuan nomor 4 SEMA Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pemungutan Pemungutan Biaya Perkara, yang menyatakan, uang konsinyasi tersebut harus disimpan di Bank. Apabila uang tersebut menghasilkan jasa giro, maka uang jasa giro tersebut wajib disetorkan kepada negara.

Ada yang berpendapat, bahwa apabila uang konsinyasi dalam waktu 6 (enam) bulan tidak diambil oleh penerima uang setelah pemberitahuan, maka uang konsinyasi tersebut disetor ke kas negara. Pendapat ini didasarkan kepada ketentuan SEMA Nomor 4 tersebut, dimana uang konsinyasi yang telah dititipkan kepada pengadilan tersebut dianggap sebagai uang yang tidak bertuan. Namun Drs. H. Masrum M Noor  tidak sependapat dengan pemahaman diatas, karena menurut SEMA tersebut, yang disetor ke kas Negara adalah: Sisa panjar perkara yang setelah 6 (enam) bulan diberitahunkan untuk diambil, tidak diambil. Hasil jasa giro dari penyimpanan uang konsinyasi. Jadi bukan yang yang dititipkan di pengadilan dan kemudian disimpan di Bank yang disetor ke kas Negara, tapi yang dikirim adalah jasa gironya. Berdasarkan SEMA tersebut, menurut Drs. H. Masrum M Noor, penulis mengambil kesimpulan bahwa apabila uang konsinyasi tersebut tidak diambil dalam jangka waktu 6 bulan maka tidak langsung secara otomatis di setor ke kas Negara tetapi yang disetor ke kas negara hasil jasa giro uang kosinyasi yang disimpan tersebut, maka uang hasil jasa giro tersebut wajib disetorkan kepada negara.

KESIMPULAN  

Konsinyasi yang berdasarkan utang piutang telah diatur secara baku dalam KUHPerdata, namun konsinyasi yang berkaitan dengan eksekusi belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur. Agar suatu titipan dianggap sebagai konsinyasi yang sah dan berharga (van waarde verklaring) prinsipnya adalah adanya penetapan Hakim/Ketua Pengadilan yang menyatakan sah dan berharga penitipan tersebut sebagai konsinyasi. Setelah dilakukan penawaran kesiapan membayar utang (aanbod van gereede betaling) oleh debitur terhadap kreditur dan kreditur menolak menerima pemabayaran utang tersebut dan kemudian konsinyasi tersebut dinyatakan sah dan berharga (van waarde verklaring) oleh pengadilan maka debitur telah dibebaskan dari kewajiban membayar utang terhadap kreditur dan utang debitur telah dianggap lunas karena telah melakukan penitipan uang kepada pengadilan berwenang dan telah berkekuatan hukum tetap (BHT). DAFTAR PUSTAKA Marni Emmy Mustafa, dalam “Penawaran  Pembayaran Uang Tunai dan Konsinyasi di Pengadiloan Unuk Kepentingan Umum” Majalah Varia Peradilan Tahun XXVII No. 334, September 2013. Masrum M. Noor, Konsinyasi di Pengadilan Agama, diakses dari www.portal.pta-banten.go.id pada hari selasa 12 Juli 2022. Yahya Harahap, Segi-Segi Perjanjian, Alumni, Bandung. Sarmin Syukur, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia, (Semarang: Jaudar Press, 2020).

lapor.png maklumat_pelayanan.jpg

HUBUNGI KAMI

Mahkamah Syar'iyah Aceh

Jl. T. Nyak Arief, Komplek Keistimewaan Aceh

Telp: 0651-7555976
Fax: 0651-7555977

Email :

ms.aceh@gmail.com

hukum.msaceh@gmail.com

kepegawaianmsaceh@gmail.com

jinayat.msaceh@gmail.com

LOKASI KANTOR

Mahkamah Syar'iyah Aceh © 2019