Menemukan Ruh Keadilan melalui Integrasi Paradigma Hukum Progresif dan Prinsip Syariah di Peradilan Agama - Sahji Rinaldi, S.H.
“Menemukan Ruh Keadilan melalui Integrasi Paradigma Hukum Progresif dan Prinsip
Syariah di Peradilan Agama”
Oleh: Sahji Rinaldi, S.H.
(Analis Perkara Peradilan Mahkamah Syar’iyah Blangpidie)
Abstrak
Peradilan Agama sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia sering kali mengahadapi dilema antara mengedepakan kepastian hukum (legal certainty) yaitu menerapkan aturan hukum secara tekstual atau mengedepankan keadilan substantif (substantive justice) yaitu memenuhi tuntutan keadilan sosial dan moral masyarakat. Selain itu hakim sering kali terkesan hanya sebagai penerjemah undang-undang dan tidak berani menafsirkan lebih luas sesuai dengan keadaan yang ada. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis integrasi paradigma hukum progresif dan prinsip syariah dengan pendekatan komplementer untuk menemukan ruh keadilan dalam praktik Peradilan Agama di Indonesia. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif berbasis analisis normatif melalui peraturan perundang-undangan, literatur hukum, dan studi praktik peradilan. Analisis dilakukan secara komparatif dan konseptual untuk melihat titik temu dan relevansi hukum progresif dan prinsip syariah. Hasil analisis menunjukkan bahwa paradigma hukum progresif menempatkan manusia sebagai pusat hukum dan mendorong hakim untuk tidak terpaku pada legalitas tekstual tapi mencari keadilan substantif melalui interpretasi dan mengedepankan sisi kemanusiaan. Di sisi lain, prinsip syariah seperti tauhid, maslahah, ‘adl, Musyarah, dll. Serta tujuan dalam hukum islam yaitu maqāṣid al-syarī‘ah memberikan landasan etis dan spiritual agar putusan lebih responsif terhadap kondisi para pihak. Integrasi paradigma hukum progresif dan prinsip syariah merupakan pendekatan strategis untuk mewujudkan Peradilan Agama yang tidak hanya mampu mengeluarkan putusan diatas kertas tapi juga mampu mewujudkan kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan yang merupakan tujuan hukum berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan. Sinergi kedua paradigma ini memungkinkan hakim menyeimbangkan kepastian hukum formal, keadilan substantif, dan kemaslahatan berdasarkan prinsip syariah, sehingga putusan tidak hanya sah secara formil tetapi juga mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan sebagaimana esensi filosofis dari ungkapan pembuka putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
